PLESIRAN DI HATYAI : SARAPAN YANG KEMAHALAN
Si ibu-ibu sungguh sangat ramah. Walau dengan bahasa Inggris yang sekali-kali nggak nyambung, manusia dari dua bangsa ini saling berkomunikasi. Si ibu malah curhat panjang lebar. Tentang dari mana dia datang, kehidupannya, hingga keinginanannya pulang kampung. Si Ibu datang dari Surat Thani, sebuah daerah lain di Thailand selatan. Dan sebagaimana kebanyakan manusia asia tenggara ketika ketemu orang asing, dia langsung menceritakan gimana kerennya kampung halamannya dan mengajak orang-orang untuk datang ke sana (yang setelah gue google emang ternyata keren beneran...).
Sembari ngobrol-ngobrol santai, si ibu kemudian menghidangkan seguci teh buat gue dan temen gue. Karena gue (berasa) turis, dan biasanya kalo ke hotel dapet welcome drink, serta terutama gue dan temen gue sama sekali nggak ngerasa pesan teh, ya gue langsung aja mengasumsikan bahwa teh tersebut adalah welcome drink dari si ibu. Yeah, Thailand emang keren, warung aja ada welcome drink-nya pikir gue.
Tapi kemudian gue mendapat tamparan keras pertama pagi itu. Tamparan yang bikin sarapan gue yang udah habis berasa nggak lagi nikmat. Gue bertanya (masih dengan bahasa Inggris yang nggak nyambung) kenapa orang-orang pada sepi. Dan kenapa nggak keliatan orang-orang di Hatyai bermain air sebagaimana yang sering digambarkan internet tentang Songkran? Apakah Songkran ternyata tidak main air melainkan main gundu?
Dan si Ibu, dengan wajah tanpa dosa dan tanpa perasaan telah mematahkan hati dua umat manusia di depannya menyampaikan bahwa perayaan Songkran di Hatyai sudah selesai. Yup, benar, di Hatyai Songkran telah usai. Tidak ada Songkran hari ini. Akhirnya penyakit suka telat gue dari jaman SD mendapat karmanya di sini.
Gue awalnya masih ngotot berdebat sama si Ibu. Bilang bahwa di Bangkok perayaan Songkran berlangsung selama tiga hari. Tapi si ibu menjelaskan bahwa di Hatyai perayaan Songkran hanya satu hari. Setelah itu tidak ada perayaan lagi, hidup berlangsung seperti biasanya. Gue tetep ngotot dengan si ibu. Si ibu sekali lagi tanpa merasa berdosa telah mematahkan hati anak manusia di depannya, malah mengajak gue ke kampung halamannya di Surat Thani. Gue jadi baper dibuatnya. Mungkin si ibu naksir gue.
Pupus sudah harapan menyaksikan perayaan Songkran yang kultural di Hatyai. Sarapan pun sudah usai. Jadi berkemaslah kami untuk pergi. Tujuan selanjutnya adalah hotel. Nama Hotelnya adalah Red Planet Hotel. Jadwal check in-nya masih siang, tapi gue pengen nyimpan tas tangan yang berat yang gue bawa-bawa ini.
Pupus sudah harapan ngeliat Songkran di Hatyai... |
Gue lalu bertanya ke si ibu di mana alamat hotel yang dimaksud. Si ibu kemudian menunjukkan suatu arah. Maklum sebagai manusia Indonesia kami nggak tahu nama-nama pahlawan di Thailand, jadi takut susah menghapal nama jalannya. Selain karena nama jalan di Thailand semuanya pake huruf Thailand (ya iyalah...) dan tidak ada huruf latinnya.
Setelah membayar sarapan, gue berjalan kaki menuju hotel. Gue sengaja memesan kamar yang berada di pusat kota biar enak kemana-mana. Dan bus yang mengantarkan gue dari Kuala Lumpur ke Hatyai berhenti tepat di tengah pusat kota yakni di Lee Garden Plaza. Jadi asumsi gue, hotel gue nggak jauh dari sana dan bisa dicapai dengan jalan kaki.
Saat berjalan itulah gue mendapat tamparan keras yang kedua di pagi itu. Setelah dihitung-hitung dan dikonversi dalam rupiah kok rasanya sarapan gue sama temen gue yang cuma dua potong omelet itu mahal banget. Jika dirupiahkan bisa sekitar 60 ribu rupiah, alias 30 ribu rupiah satu omeletnya. What? Ini omelet apaan? Omelet telor onta? Temen gue kemudian berasumsi bahwa teh itu nggak gratis. Gimana bisa? Kan gue nggak pesen. Walau emang gue minumnya banyak sih. Habis teh-nya enak.
Terus berjalan, gue merasa hilang arah. Dan karena leluhur gue pernah berpesan bahwa malu bertanya sesat di jalan, gue pun bertanya. Susahnya, ternyata orang-orang Hatyai nggak ngomong pake bahasa Inggris. Jadi ketika gue nanya pake bahasa Inggris dimana alamat hotel gue, orang-orang di sana cuma bengong. Mungkin mereka kagum dengan kegantengan gue.
Setelah beberapa kali bertanya dengan orang-orang Hatyai yang bahasa Inggrisnya nggak nyambung, gue mendapat tamparan ketiga pagi itu. Ternyata arah yang ditunjukkan si ibu-ibu pemilik warung nggak bener. Entah karena bahasa Inggris gue yang jelek sampai si ibu salah mengerti ataukah si ibu emang sengaja ngerjain gue.
Oh ibu-ibu Hatyai, apa ini semua gara-gara gue nggak mau diajak nemenin balik kampung ke Surat Thani?