1

TRIP TO RANDAYAN...

Posted by Santosa-is-me on 1:31 PM in

Eng…ing…eng… gue balik lagi akhirnya. Pasti udah pada khawatir ya, si Badak udah punah? Nggak. Kayak kata om Dedi Mizwar yang sekarang dah jadi pejabat, “Tidak ada Badak, tidak baik.” Si Badak Gaul is still alive.

Awal bulan ini gue berkesempatan jalan-jalan ke pulau Randayan bareng temen-temen gue. Istilah kerennya sih treveling. Nah biar eksis, sekaligus buat promosi tempat wisata di kampung halaman gue, ceritanya gue tulis di sini.

Pulau Randayan, letaknya di tengah laut (ya iyalah, namanya juga pulau). Adanya di sebelah barat lepas pantai Kalbar, tepatnya di Kabupaten Bengkayang, masuk Kecamatan Sungai Raya Kepulauan.

Gue berangkat bareng 7 orang temen gue. Naik motor. Karena kita mikir kalo berangkat pagi nggak keburu (sebuah info sesat mengatakan satu-satunya kapal motor ke pulau Randayan berangkat pukul 7 pagi tepat), maka kita berangkat dari malemnya dan bermalam di Mempawah. Besok paginya baru kita berangkat menuju pelabuhan Telok Suak, tempat kita naik kapal motor menuju pulau Randayan.

Perjalanan dari Pontianak ke Mempawah makan waktu sekitar 1,5 jaman sementara dari Mempawah ke Telok Suak juga makan waktu 1,5 jaman dipotong sholat shubuh. Gue dan temen-temen gue sampe di Telok Suak sekitar jam 7 kurang seperapat. Dan waktu kita nanya ke orang-orang di sana, ternyata eh ternyata kapal ke randayan baru berangkat paling cepet jam 8. Dan juga itu ternyata bukan satu-satunya kapal ke Randayan. Jadi gak usah khawatir-khawatir amat kalo terlambat. Karean info sesat itu, kita jadi datangnya kepagian.

Gue dan 7 manusia sesat yang menyertai gue itu, menghabiskan waktu menunggu kapal dengan sibuk belanja dan mencari WC. Buat info temen-temen yang mau ke pulau pake sepeda motor, jangan khawatir, di Telok Suak ada jasa penitipan sepeda motor. Jadinya motor kita dijagain dan aman selama kita ke pulau.

Jam 8 tepat, gue berdelapan berangkat menyebrang laut. Penumpang kapal gak Cuma kami. Ternyata ada banyak yang berangkat ke pulau juga. Tapi mereka nggak turun di Randayan. Kebanyakan turun di pulau Lemukutan.

Hampir 2 jam menempuh jalan laut, kami akhirnya nyampe ke pulau Randayan. Sebelum ke pulau Randayan, kita ngelewati 3 pulau dulu. Pulau penata kecil, Pulau Penata Besar dan Pulau Lemukutan. Karena diantara empat pulau itu Randayan yang paling jauh, ongkosnya juga yang paling mahal: Rp 25.000/orang sekali jalan (sebenarnya sih ini udah termasuk murah). Sebenarnya ini angkatan yang termurah. Kalau mau lewat Pantai Pasir Panjang juga bisa, tentu kapalnya lebih bagus dan biayanya lebih mahal.

Kesan pertama gue waktu nyampe ke pulau ini adalah airnya jernih banget. Ini pengalaman kedua gue ke pulau, tapi pulau yang dulu (pulau Temajo) air lautnya agak keruh dan nggak jernih. Yang ini jernih banget, sampe dasar laut yang dangkalnya kelihatan. Lalu kesan kedua gue, pulau ini kecil banget apalagi kalau dibandingin 3 pulau lainnya yang segede bagong.

Begitu menginjakkan kaki ke pulau ini, gue disambut villa-villa sewaan dan tagihan biaya masuk ke pulau itu Rp 15.000/orang. Gue berdelapan sama sekali nggak bawa tenda karena dari awal kita emang berencana mau sewa villa. Tapi yang nggak kita rencanain adalah bahwa semua villa sudah di booking sama orang.

Dengan prospek bermalam gue dan temen-temen yang belum jelas, tiba-tiba seorang malaikat seperti dikiri dari langit ke-7. Gue rasanya kepengen meluk dan mencium malaikat ini, tapi setelah gue perhatiin bahwa dia kumisan, gue batalin niat gue. Ternyata dia bapak-bapak pengelola mess. Dia bilang, masih ada satu kamar kosong tersisa. Murah sih, tapi kamarnya kecil dan aslinya maksimal cuma untuk 5 orang aja. Gue berdelapan saling pandang. Saat itu gue seperti melihat masa depan. Temen-temen gue ngebunuh gue dan 2 orang temen gue yang lainnya, membakar dagingnya lalu memakannya. Mereka berlima lalu menjadi suku pemakan manusia di pulau itu. Oke, gue mulai ngaco.

Akhirnya kita memutuskan berdelapan dalam 1 kamar. Ini lebih baik daripada tidur di tepi pantai dan hanyut ke laut gara-gara air pasang. Jadi kalau suatu saat kawan-kawan ada yang mau ke pulau ini, mending siap-siap bawa tenda, siapa tahu villanya penuh. Oh ya biaya villanya Rp 500.000/kamar. Sementara kamar mess (Cuma kamar kecil dengan kasur, plus kipas angin) ratenya Rp 300.000/kamar. Kalau dibandingin dengan tarif hotel biasa, ini emang lumayan mahal.

Selama di pulau kita lanngsung melakukan apa yang di lakukan orang-orang ketika liburan di pulau: TIDUR. Selain karena malam sebelumnya kita emang kurang tidur, temen gue juga beralasan “Biar kita merasakan gimana rasanya tidur di pulau.” Oke, kayaknya gue liburan dengan teman-teman yang salah. Tidur mah dimana juga sama aja.

Sorenya, baru pada bangun, bareng-bareng eksplor pulau dan memuaskan nafsu narsis kami buat foto-foto. Setelah itu berenang ke laut. Airnya jernih. Ombaknya seru. Dan kalo punya kaca mata selam kita bisa melihat dunia bawah laut. Sayang terumbu karang di sekitar pantai gak sebagus kayak di tv-tv. Mungkin kalo ke tempat yang lebih dalam baru keliatan ikan-ikannya (tadinya ngarap mau nangkap Nemo). Di sini juga ada penyewaan alat snorkling dan peratan nyelam lainnya. Tapi demi agar kami tidak jadi saling bunuh karena nggak ada duit, kita nggak berani nanya harga sewanya.

Karena keasyikan berenang kita jadi kelewat sama sunset. Kebeneran, sunsetnya berada dibelakang pulau tempat gue berenang, jadinya kita nggak nyadar udah sunset. Tapi kita berhasil dapet beli ikan langsung dari nelayan yang baru pulang melaut. Malamnya gue dan temen-temen gue bikin api unggun dan bakar ikannya. Lumayan seru juga ternyata bakar ikan di api unggun. Sayangnya gue emang tidak cocok berkerja di air. Ikan bakar gue gagal. Tidak berbentuk. Jatuh di pasir. Jatuh pula di dalam tumpukan abu dan arang. Rasanya jadi abstrak.

Malamnya kita nikmatin angin malam yang dingin. Dan tidur dempet-dempetan di kamar yang sempit dan panas. Sungguh, kalau memang kawan-kawan berniat pergi ke pulau, jangan coba-coba mencontoh ini. Tidak dianjurkan kecuali punya nyawa sembilan.

Paginya membayar sunset yang kelewat kita nungguin sun rise. Pemandangannya indah banget. Sinar jingga memenuhi ufuk timur. Gue mendadak jadi romantis. Lalu gue mulai menulis puisi. Namun setelah gue baca lagi, kayaknya isinya lebih mirip puisi anak SD kebanyakan makan abon.

Sebelum sarapan gue dan temen-temen gue sempet-sempetin ngumpulin karang dan kerang buat dibawa pulang ke Pontianak. Sambil nunggu kapal jemputan datang, kita lalu mesan nasi goreng buat sarapan sama ibu-ibu warung di sana. Sialnya pesenan nasi goreng kita baru datang pas kapal jemputan nyampe. Jadinya kita terpaksa harus ngabisin sepiring nasi goreng dalam waktu semenit. Kampret. Nggak ada nikmat-nikmatnya sama sekali.

Pulangnya gue dan temen-temen mampir di Mempawah buat makan siang dan nyari kelapa. Juga tidur (emang, kita kebanyakan tidur). Lalu sorenya baru deh kita balik ke Pontianak. Di tengah jalan perut gue sakit. Sampe di Pontianak, udah malam, dan perut gue masih sakit. Sempet-sempetnya kita mampir lagi makan bakso. Dan sampe di rumah, gue muntah-muntah. Perut gue ternyata kembung, masuk angin. Pas itu gue juga baru ingat tupperware enyak gue ketinggalan di pulau. Padahal sebelum pergi enyak gue udah pesen, “Kalau nanti di pulau ada tsunami atau gempa bumi, selamatkan tupperwarenya baru setelah itu nyawa kau.” Ampun deh, enyak gue lebih sayang Tuperwarenya dibanding anaknya.



Copyright © 2009 BIG RHINO WHO WANTS TO FLY All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.