1

PLESIRAN DI HATYAI : SARAPAN YANG KEMAHALAN

Posted by Santosa-is-me on 10:45 PM in
Rumah-rumah penduduk semakin ramai. Sedikit demi sedikit rumah-rumah mulai rapat. Tapi semua masih pakai huruf Thailand (ya iyalah, namanya juga di Thailand kali). Matahari udah naik. Pagi pertama gue di Hatyai sudah menjelang.

Bus memasuki kota yang tampak cukup ramai. Tidak sebesar Bangkok, Kuala Lumpur atau Jakarta yang metropolis, namun tampak beberapa bangunan cukup megah. Beberapa pusat perbelanjaan besar juga sudah berdiri. Cuma anehnya, semua tampak nggak terlalu ramai. Jalanan masih sepi-sepi aja. Bahkan pasar-pasar yang biasanya ramai di pagi hari, tampak lengang-lengang aja. Toko-toko juga banyak yang belum buka. Padahal udah lumayan siang, sekitar pukul 8-an. 

Sekedar informasi, waktu yang digunakan di Thailand sama dengan yang digunakan di Indonesia bagian barat. Karenanya jam 8 harusnya orang-orang sudah mulai beraktivitas. Tapi ini kok nggak? Okelah, lagi tahun baru. Tapi ya masak sepi-sepi aja nih? Bukannya tahun baru harusnya meriah. Dan mana orang main-main airnya?
Apa orang-orang Hatyai ketiduran abis malam taon baru ye?
Ada apa dengan Hatyai? Apakah ada serangan zombie? Atau ada wabah penyakit yang mematikan? (Kebanyakan nonton film.....)

Semakin mendekati pusat kota Hatyai, suasana jadi sedikit lebih ramai. Tapi nggak seramai yang gue bayangkan. Bus berhenti di depan sebuah tempat bernama Lee Garden Plazza. Di sini semua penumpang turun. Tak ada yang istimewa di tempat tersebut. Tampak hanya sebuah pusat perbelanjaan biasa.

Turun dari bus, ada beberapa hal yang ingin gue dan temen seperjalanan gue lakukan. Salah satunya sesegera mungkin menyimpan bagage kami yang berat-berat ini. Kami sudah booking kamar hotel sebelumnya lewat internet. Sengaja pilih hotel di dekat pusat kota, biar enak kemana-mana. Gue juga sebenarnya udah nggak tahan mau buang hajat dan mandi. Maklum udah dari hari sebelumnya gue nggak mandi.

Tapi sebelum itu, ada yang lebih penting. Kita musti segera sarapan. Yup, perut lapar bisa bikin manusia memakan manusia lainnya. Tapi karena udah ada roti yang dibekelin temennya temen gue dari Malaysia, jadi kami memilih sarapan pake roti aja. Makan roti emang praktis sebenarnya, tapi kami tetap nyari tempat tongkrongan buat sarapan. Maklum karena pengen ngaso setelah semalaman di bus, serta tentu saja yang terpenting: nanya dimana alamat hotel kami. Maklum di negara orang ini internet dari bangsa sendiri nggak bisa dipake meski sapapun menkominfonya. Jadinya google maps nggak bisa membantu banyak.

Toko-toko kayaknya masih banyak yang tutup. Gue dan temen gue yang mencari tempat yang cozy buat nongkrong sarapan akhirnya mampir ke sebuah warung. Nampak tua banget. Di depan toko ada tulisan Thailand (ya iyalah...). Di depannya juga ada patung ayam yang dikasi kalung bunga. Entah apa maksudnya.
Patung ayam di depan warung...
Warung itu dijaga sama seorang ibu-ibu yang ramah. Ibu-ibunya baik dan dengan senang hati menemani kami ngobrol. Kami makan roti bekalan. Cuma masa iya nggak pesan apa-apa. Akhirnya pesan deh, omelet alias telor dadar. Meski ini melanggar kode etik sebagai manusia asia tenggara yang terbiasa sarapan nasi. Gue dan temen gue di pagi pertama di Hatyai sarapan roti dan omelet. Ya, sekali lagi... roti dan omelet.

Si ibu-ibu sungguh sangat ramah. Walau dengan bahasa Inggris yang sekali-kali nggak nyambung, manusia dari dua bangsa ini saling berkomunikasi. Si ibu malah curhat panjang lebar. Tentang dari mana dia datang, kehidupannya, hingga keinginanannya pulang kampung. Si Ibu datang dari Surat Thani, sebuah daerah lain di Thailand selatan. Dan sebagaimana kebanyakan manusia asia tenggara ketika ketemu orang asing, dia langsung menceritakan gimana kerennya kampung halamannya dan mengajak orang-orang untuk datang ke sana (yang setelah gue google emang ternyata keren beneran...).

Sembari ngobrol-ngobrol santai, si ibu kemudian menghidangkan seguci teh buat gue dan temen gue. Karena gue (berasa) turis, dan biasanya kalo ke hotel dapet welcome drink, serta terutama gue dan temen gue sama sekali nggak ngerasa pesan teh, ya gue langsung aja mengasumsikan bahwa teh tersebut adalah welcome drink dari si ibu. Yeah, Thailand emang keren, warung aja ada welcome drink-nya pikir gue.

Tapi kemudian gue mendapat tamparan keras pertama pagi itu. Tamparan yang bikin sarapan gue yang udah habis berasa nggak lagi nikmat. Gue bertanya (masih dengan bahasa Inggris yang nggak nyambung) kenapa orang-orang pada sepi. Dan kenapa nggak keliatan orang-orang di Hatyai bermain air sebagaimana yang sering digambarkan internet tentang Songkran? Apakah Songkran ternyata tidak main air melainkan main gundu?

Dan si Ibu, dengan wajah tanpa dosa dan tanpa perasaan telah mematahkan hati dua umat manusia di depannya menyampaikan bahwa perayaan Songkran di Hatyai sudah selesai. Yup, benar, di Hatyai Songkran telah usai. Tidak ada Songkran hari ini. Akhirnya penyakit suka telat gue dari jaman SD mendapat karmanya di sini.

Gue awalnya masih ngotot berdebat sama si Ibu. Bilang bahwa di Bangkok perayaan Songkran berlangsung selama tiga hari. Tapi si ibu menjelaskan bahwa di Hatyai perayaan Songkran hanya satu hari. Setelah itu tidak ada perayaan lagi, hidup berlangsung seperti biasanya. Gue tetep ngotot dengan si ibu. Si ibu sekali lagi tanpa merasa berdosa telah mematahkan hati anak manusia di depannya, malah mengajak gue ke kampung halamannya di Surat Thani. Gue jadi baper dibuatnya. Mungkin si ibu naksir gue.

Pupus sudah harapan menyaksikan perayaan Songkran yang kultural di Hatyai. Sarapan pun sudah usai. Jadi berkemaslah kami untuk pergi. Tujuan selanjutnya adalah hotel. Nama Hotelnya adalah Red Planet Hotel. Jadwal check in-nya masih siang, tapi gue pengen nyimpan tas tangan yang berat yang gue bawa-bawa ini.

Pupus sudah harapan ngeliat Songkran di Hatyai...

Gue lalu bertanya ke si ibu di mana alamat hotel yang dimaksud. Si ibu kemudian menunjukkan suatu arah. Maklum sebagai manusia Indonesia kami nggak tahu nama-nama pahlawan di Thailand, jadi takut susah menghapal nama jalannya. Selain karena nama jalan di Thailand semuanya pake huruf Thailand (ya iyalah...) dan tidak ada huruf latinnya.

Setelah membayar sarapan, gue berjalan kaki menuju hotel. Gue sengaja memesan kamar yang berada di pusat kota biar enak kemana-mana. Dan bus yang mengantarkan gue dari Kuala Lumpur ke Hatyai berhenti tepat di tengah pusat kota yakni di Lee Garden Plaza. Jadi asumsi gue, hotel gue nggak jauh dari sana dan bisa dicapai dengan jalan kaki.

Saat berjalan itulah gue mendapat tamparan keras yang kedua di pagi itu. Setelah dihitung-hitung dan dikonversi dalam rupiah kok rasanya sarapan gue sama temen gue yang cuma dua potong omelet itu mahal banget. Jika dirupiahkan bisa sekitar 60 ribu rupiah, alias 30 ribu rupiah satu omeletnya. What? Ini omelet apaan? Omelet telor onta? Temen gue kemudian berasumsi bahwa teh itu nggak gratis. Gimana bisa? Kan gue nggak pesen. Walau emang gue minumnya banyak sih. Habis teh-nya enak.

Terus berjalan, gue merasa hilang arah. Dan karena leluhur gue pernah berpesan bahwa malu bertanya sesat di jalan, gue pun bertanya. Susahnya, ternyata orang-orang Hatyai nggak ngomong pake bahasa Inggris. Jadi ketika gue nanya pake bahasa Inggris dimana alamat hotel gue, orang-orang di sana cuma bengong. Mungkin mereka kagum dengan kegantengan gue.

Setelah beberapa kali bertanya dengan orang-orang Hatyai yang bahasa Inggrisnya nggak nyambung, gue mendapat tamparan ketiga pagi itu. Ternyata arah yang ditunjukkan si ibu-ibu pemilik warung nggak bener. Entah karena bahasa Inggris gue yang jelek sampai si ibu salah mengerti ataukah si ibu emang sengaja ngerjain gue. 


Oh ibu-ibu Hatyai, apa ini semua gara-gara gue nggak mau diajak nemenin balik kampung ke Surat Thani?

0

MELINTAS BATAS, MENUJU HATYAI

Posted by Santosa-is-me on 8:25 PM in
Kalau ditanya, kenapa milih ke Hatyai? Mungkin jawaban gue bakal sama dengan jawaban gue untuk beberapa pertanyaan sejenis, kenapa tidak?

Tapi baiklah, gue ceritain sedikit kenapa gue milih ke Hatyai. Gue sendiri nggak berencana ke kota di Thailand selatan ini. Tujuan gue sebenarnya cuma satu pengen ikutan Songkran, tahun baruannya orang Thailand. Konon katanya pas tahun baruan, orang Thailand suka maen air.

Jangan tanya gue apa hubungan tahun baru sama air. Namanya juga orang Thailand, suka aneh-aneh. Bedain cowok sama cewek di sana aja susah (nggak nyambung!). Tapi ngomongin Thailand, ya gue juga cuma taunya ke Bangkok atau paling nggak ke Phuket. Okelah, Krabi gue udah dengar lebih dulu yang kata temen-temen gue yang pernah ke sana katanya nggak kalah dengan Phuket. Tapi Hatyai? Reaksi gue waktu diajak ke sana adalah: dimakan bikin bau nggak? Itu petai... (Tuhan ampuni hamba karena kegaringan ini).

Tapi temen gue seperjalanan meyakinkan gue soal kota tujuan Songkran kami ini. Alasannya sederhana, karena Hatyai nggak sebesar Bangkok yang penuh dengan bule itu. Songkran di Hatyai katanya lebih kultural. Di kota-kota besar lain, Songkran cuma seperti pesta dengan komersialisasi tiada tara.

Gue yang doyan kemana-mana untuk melihat sesuatu yang baru ini, jelas bukan ke Thailand bukan buat sekedar ngejar pesta yang hingar-bingar. Karena kalau cuma ingin bingar gue cukup ke hutan kemudian belok ke pantai. Gue mau ke Thailand buat ngeliat kehidupan orang Thailand. Pengen ngeliat Songkran yang sebenarnya. Dengan gadis-gadis seksi thai yang kebasahan... eh maksud gue dengan perayaan tahun baru dan semacamnya. Karenya gue mengiyakan ajakan untuk ke Hatyai. Dan sekali lagi Hatyai bukan jenis makanan, apalagi sayuran.

Tapi sayangnya kami tidak mungkin datang ke Hatyai pada hari pertama Songkran. Alasannya teman gue yang hendak berangkat serta bareng gue ke Thailand ini sekalian ada urusan pekerjaan sebelumnya ke Penang, Malaysia. Dan jadwal perkerjaannya itu, membuat kami baru mungkin tiba di Hatyai pada hari kedua Songkran. Tapi toh kami kira itu nggak bakal jadi masalah. Karena dugaan kami, seperti di Bangkok, perayaan Songkran katanya dirayakan hingga tiga hari. Jadi rasanya nggak masalah.

Setelah dengan penuh perjuangan akhirnya bertemu di Kuala Lumpur, gue dan rekan seperjalanan gue bersiap bertolak ke Thailand. Berangkat dari stasiun Duta, kami naik bus yang menurut gue cukup bagus. Bus dari perusahaan Konsortium Bas Ekspress seharga 60 ringgit. Ber-AC dan kursinya jarang-jarang. Dalam satu baris hanya ada tiga kursi. Lumayan lega dan bisa tidur nyenyak sambil selonjoran. Ada wifi-nya pula walau cuma untuk wilayah Malaysia aja, dan udah nggak bisa dipakai lagi begitu udah lewat perbatasan.

Dalamnya lega, bikin tidur ngorok terasa biasa...
Perjalanan malam dari Kuala Lumpur ke Hatyai memang sengaja gue pilih. Tujuannya memang untuk menghemat biaya penginapan. Maklum dengan jarak yang lumayan, kemungkinan gue baru bakal tiba di Hatyai pada pagi hari. Namanya juga bagpacker kere. Jadi harus benar-benar berhemat.

Tak banyak yang bisa gue ceritakan dari perjalanan malam tersebut. Selain kalo busnya enak, ada wifi dan ber-AC. Selain karena malam dan gue udah cukup lelah dengan chaos biar bisa ketemu temen gue, juga karena nggak banyak yang bisa dilihat dalam gelap malam. Akhirnya gue banyak tidur sih. Bahkan godaan wifi aja nggak bisa ngalahin kantuk gue. Selain juga karena gue adalah manusia yang lumayan kebo. Entah ada yang ke ganggu nggak sama orok gue. Btw, orok itu bayi kan yah?

Menjelang subuh sekitar pukul 3-an, bus gue berhenti di sebuah tempat. Tampaknya ini jadi tempat perhentian bus. Beberapa penumpang turun dan makan. Gue sebenarnya lapar juga mengingat terakhir gue makan adalah McD-nya KL Sentral, sekitar jam 5 sore waktu Malaysia. Cuma entah kenapa gue nggak begitu mood buat makan. Tapi gue tetep turun juga. Salah satunya karena di sana ada penukaran uang. Disini gue nukarin semua ringgit ke bhat, karena bentar lagi harusnya gue masuk Thailand.

Cukup lama bus ngetem di tempat tersebut. Dan gue lalu ketiduran dengan sukses. Pihak bus kemudian memberikan semacam formulir buat diisi. Untuk kebutuhan imigrasi. Hampir aja nggak gue isi, pengen gue buang. Karena formulir begituan nggak ada di border Indonesia-Malaysia. Cukup paspor, udah bisa melintas, nggak harus isi ini itu. Tapi temen gue nasehatin untuk ikut aja.

Menjelang pagi, bus tiba di border perbatasan Malaysia. Di sini semua penumpang disuruh turun sambil bawa semua barangnya. Setelah paspor di chop, dan barang di X-ray, gue resmi meninggalkan Malaysia. Beberapa penumpang bus memanfaatkan kesempatan di imigrasi ini buat buang hajat, jadinya bus terpaksa menunggu sampai semua penumpang kembali baru kemudian bus kembali berjalan.

Selang beberapa menit. Giliran kembali penumpang turun dan disuruh bawa semua barangnya. Disini formulir yang diberikan oleh kondektur bus diminta oleh petugas imigrasi. Untung nggak jadi gue buang sesuai saran temen gue.
Bus gue waktu di border Thailand, udah pagi baru bisa ambil gambar...
Satu hal yang berbeda di border Thailand ini adalah semua petugasnya pakai baju hawai. Rupanya ini tradisi ketika tahun baru. Tampaknya gue tiba di negara yang benar. Setelah jalan, bus langsung menuju Hatyai. Segala macam poster bertuliskan huruf Thailand yang entah bertuliskan apa silih berganti di sepanjang jalan. Awalnya banyak hutan dan kebun sawit, lama-lama mulai ramai rumah penduduk. 

Sembari menunggu bus tiba di Hatyai, gue dan temen gue sarapan. Kebetulan temen dari temen gue yang sempat ia temui di Bangsar Village di Kuala Lumpur adalah pejabat penting di salah satu perusahaan roti Malaysia. Jadilah gue dan temen gue dibekali dengan roti dari perusahaannya. Dan roti yang dibekalkan itulah yang jadi pengganjal perut gue sebelum tiba di Hatyai.

1

DAN KINI 2016 DATANG

Posted by Santosa-is-me on 9:59 PM in
Ceritanya gue sedih nih. Salah seorang terbaik yang pernah gue kenal baru aja kembali keharibaan yang Maha Kuasa dalam usia yang sangat-sangat muda. Dia jauh lebih muda dari gue bahkan. Pas usai menghadiri pemakamannya kemarin itu, gue jadi mikir bahwa yang namanya kematian memang dekat banget sama siapa saja termasuk gue sendiri. Itu adalah kenyataan yang kita semua paham. Cuma kadang-kadang kita berusaha untuk denying, baik sadar atau nggak. Kita meyakinkan diri kita bahwa kita bakal mati nanti kalau udah tua dan diatas pembaringan.

Bicara soal kematian, gue selalu mengaitkannya dengan waktu. Gue selalu bertanya-tanya sebenarnya seperti apakah hakikat waktu itu sebenarnya? Apakah ia sesuatu yang terus maju ataukah ia hanya sebuah putaran siklus yang berulang seperti halnya yang kita kenal dalam putaran jam? Gue cenderung lebih setuju dengan yang pertama. Namun kalau begitu, terus kenapa dong orang-orang merayakan pergantian siklus semacam tahun baru? Bukankah pergantian tahun dan waktu itu hal yang semu? Hanya sebuah siklus yang dibuat-buat saja. Waktu yang sebenarnya adalah yang berjalan maju ibarat air sungai yang mengalir deras dan tak bisa kembali. Yang berlalu adalah kenangan, tak akan terulang.
Bagi gue mah, yang baru di tahun baru itu cuma kalender...
Duh, kok gue jadi serius gini ya hahaha? Maklum, kelamaan nggak update blog ini. Pokoknya pada intinya, kali ini gue mau nge-review apa aja yang terjadi pada 2015 gue, dan apa yang pengen gue lakuin di 2016. Rada telat sih ya, udah mau di akhir Januari ini. Tapi nggak apalah... kan masih di bulan Januari juga. Masih ada 11 bulan lagi di 2016 ini.

Apa yang terjadi di 2015 gue? Yang paling bisa diingat (dan masih teringat sampai sekarang) adalah gue kehilangan salah seorang yang paling penting dalam hidup gue kemaren. Seseorang yang gue pikir bakal jadi masa depan gue. Orang yang memenuhi seluruh cita-cita gue, dan sialnya gue nggak menyiapkan cita-cita cadangan. Makanya ketika semua rencana masa depan gue itu punah, gue sempet kayak orang ling-lung. Ceritanya lagi patah hati men....
Well, tapi di sini gue dapat pembelajaran yang jelas. Hidup ini penuh dinamika yang nggak bisa kita duga. Kita nggak boleh menutup segala kemungkinan baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Bahkan mereka yang udah terikat dalam pernikahan saja bisa berpisah, apalagi yang cuma sebuah ikatan rapuh. Jadi pesan gue, jangan mau investasikan terlalu banyak hal dalam hubungan, terlebih menginvestasikan hati dan perasaan. Karena yang ada disamping kita sekarang belum tentu dia yang bakal nemenin kita sampai kita mati ntar. Kalau ingin menginvestasikan hati kita dengan maksimal itu nanti, kepada orang yang kita nikahi ntar. Saat itu boleh deh, kita berusaha jadi pasangan yang sebaik mungkin, pasangan yang paling mencintai pasangannya. Harus malah!

Gue sendiri nggak tahu kapan gue bisa sempurna move on dari hal ini. Sampai sekarang gue masih sering kepikiran sedikit-sedikit walau jujur gue udah mulai menerimanya. Tapi untuk memulai sesuatu yang baru, gue mesti sembuhin dulu luka ini. Berasa nggak adil aja sih menurut gue kalau gue nekat mencoba seseorang yang baru sementara sebagian diri gue masih memikirkan orang lain. Bagi gue, saat memutuskan bersama seseorang, gue akan memberikan sepenuh hati gue buat dia. So, sebelum gue bisa kayak gitu, mending gue sendiri aja dulu deh...

Tapi kalo ngomongin 2015, gue cukup bangga dengan pencapaian gue di bidang traveling. Maklum sebagai anak rumahan gue nggak banyak jalan-jalan. Ke tempat wisata di kota gue sendiri aja gue jarang, apalagi ke daerah lain. Bisa di hitung pake jari. Namun di 2015 ini gue berhasil mencapai 3 tujuan traveling yang udah gue pengenin sejak lama.

Pertama, gue berhasil ke luar negeri. Yah, gue emang katro, nggak pernah ke luar negeri. Tapi di 2015 ini gue akhirnya punya paspor dan sukses jalan-jalan keluar negeri untuk pertama kali. Bukan sebagai TKI loh. Dan nggak tanggung-tanggung gue langsung ke 2 negara sekaligus, Malaysia dan Thailand. Cerita perjalanan gue tersebut bisa diliat di sini, tapi yang ke Thailandnya belum sempat gue tulis. Ntar deh kalo sempet. 
Kami sedang naik tuk-tuk itu ya, bukan bajai...
Baca juga: Catatan perjalanan : Semalam di Malaysia

Kedua, ke Kota Tua Jakarta. Gue nggak tau kenapa gue suka dengan bangunan-bangunan model klasik jaman Belanda gitu. Karena itu, kalo ditanya apa tempat yang pengen gue kunjungi di Jakarta, gue pasti jawab Kota Tua Jakarta. Sayangnya, beberapa kali gue ke Jakarta, gue nggak berkesempatan ke sana karena biasanya cuma buat urusan kerjaan dan barengan teman, dan temen gue nggak menganggap kota tua Jakarta sebagai sesuatu yang lebih menarik ketimbang Pasar Tanah Abang. Herannya mereka malah suka ke Monas yang menurut gue nggak ada menarik-menariknya. Mungkin selama ini gue telah memilih berteman dengan orang yang salah.

Nah dalam rangka mengobati patah hati gue kemaren, gue ber-solo traveling ke Jakarta. Mumpung sendiri maka gue melakukan hal-hal yang emang kepengen gue lakukan kalo ke Jakarta seperti ke Kota Tua Jakarta, belanja buku di Kwitang, atau jalan kaki di Thamrin, serta keliling Jakarta naik busway (katrok ya gue...). Sialnya kwitang udah digusur, dan katanya pindah ke Blok-M. Jadi gue ke sana. Sayang lapaknya bang Limbong yang di AADC kayaknya nggak ikut ke gusur, gue cari-cari nggak ketemu. Padahal gue kepengen ketemu sama bang Gito Rollies (apaaan sih???).
Obat patah hati gue mahal, nggak boleh sering-sering
Ketiga, jalan-jalan ke Camar Bulan. Kalo ngomong Camar Bulan, pasti ingatnya sama patok batas Indonesia yang bergeser kemaren. Padahal gue sendiri udah dengar soal Camar Bulan ini dari sekitar tahun 2010 sebelum tempat itu terkenal kayak sekarang. Katanya tempat itu indah banget, walau akses ke sana susahnya minta ampun.

Di akhir tahun kemaren, radio gue ngadain sebuah program kuis yang berhadiah field trif bareng WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat. WWF ini yang organisasi lingkungan internasional lho ya, bukan yang acara gulat itu. Nah, gue kemudian ditawarkan untuk menemani para pemenangnya yang akan berangkat ke Camar Bulan. Seperti pungguk merindukan bulan (entah, kok rasanya pribahasa ini konteksnya nggak tepat ya, tapi ah sudahlah...) gue langsung aja menerima tawaran ini. Padahal rencanannya gue sebelumnya di waktu yang sama hendak jadi MC pernikahan saudara. Juga hendak menghadiri sebuah acara di luar kota. Tapi gue sampai bela-belain ngelakuin apa aja biar akhirnya gue bisa pergi ke Camar Bulan. Yah, kalau udah niat tuh ya, apa aja bisa dilakuin hehehe...
Lelaki tampan di batas negara...
Kalo untuk hal-hal lain mungkin nggak banyak berubah. Soal bisnis, gue belajar bahwa kita nggak bisa ngelakuin banyak hal sekaligus. Harus satu persatu, makanya gue sementara ini fokus pada beberapa rencana bisnis yang memang bisa gue kerjakan dulu. Februari ini semoga warung kopi bisa rampung. Majalah atau website masih menunggu follow up dari orang-orang yang gue ajak kerja sama. Dan sebuah bisnis, yang masih dalam tahap perencanaan yang semoga bisa mulai pada pertengahan tahun ini.

2015 kemaren juga gue buka tabungan haji. Secara haji adalah rukun Islam ke-5 jadi dia lebih peting ketimbang nikah. Makanya sebagai realisasi niat gue buka deh tuh tabungan haji. Yah, walau sebenarnya karena nemenin emak gue daftar haji sih, dan mbak-mbak CS bank-nya cakep banget, gue jadi seperti terhipnotis buat bikin tabungan. Tapi entah deh kapan gue bakal naik hajinya. Secara gue nyetor ke tuh tabungan jarang banget. Padahal emak gue yang ongkos hajinya udah lunas aja musti nunggu 10 tahun. Gila nggak!?

Itu aja sih kayaknya yang bisa diceritain dari tahun 2015. Kalo ditanya apa yang pengen gue capai di tahun 2016 ntar? Gue cuma bisa jawab, gue kepengen Syahrini tobat.

Btw, ngomong-ngomong banyak yang meninggal ya di bulan Januari ini, mulai dari penyanyi jazz Natalie Cole, David Bowie, Budi Anduk, Neneknya Zayn Malik, Teroris Sarinah, Mirna Salihin, Severus Snape, Anaknya Ibu Mentri Kelautan hingga terakhir temen gue yang gue ceritain di awal post ini. So, siapa yang berani jamin kita bakal ketemu sama tahun 2017?
Ground Control to Major Tom...

4

DUA CERITA DARI DUA FILM TAK TERDUGA

Posted by Santosa-is-me on 5:38 PM in
Ya ampun, apa kabarnya nih blog??? Ditinggal udah sekian lama.

Sorry banget ya, gue kemaren-kemaren agak rada nggak aktif buat ngeblog dulu. Maklum kemaren itu sedang patah hati, jadi butuh waktu buat menenangkan diri dan memperbaiki hati. Gue kalau patah hati emang gitu, parah banget.

Untungnya, masih banyak hal-hal yang bisa gue jadikan pelarian ketika gue sedang patah hati. Traveling, makan, ngumpul bareng teman, kerja lembur dan nonton film. Jujur, patah hati bisa bikin gue bangkrut sebenarnya. Selain kerja lembur, kesemua aktivitas yang gue jadikan pelarian itu butuh biaya yang nggak sedikit. Liat aja misalnya makan, sekali makan gue bisa ngabisin duit cukup banyak. Apalagi kalau lagi patah hati gini, gue makannya suka kalap.

Kalau patah hati terus jadi gendut, doa gue suka jahat...

Udahlah, lupakan patah hati gue yang nggak penting. Kali ini gue justru pengen cerita tentang dua film yang gue ketemuin dalam proses gue memperbaiki hati. Dua film dari dua negara yang menurut gue sering kita underestimate soal film berkualitas. Yang satu film India dan yang satu film Indonesia.

Nah gue mulai dari film India dulu. Semenjak gue udah meninggalkan dunia alay dan hidup lebih sedikit serius, gue nggak terlalu sering lagi ngikutin film-film India. Kalau gue ingat-ingat lagi, film India terakhri yang gue tonton adalah PK yang dimainin sama Aamir Khan. Selain itu, gue nggak benar-benar tahu film India apa saja yang beredar di pasaran. Gue juga udah nggak tahu gimana kabarnya Shahrukh Khan, Salman Khan, Kereena Kapoor atau Aishwarya Ray.


Kalau gue fikir-fikir lagi, asumsi soal film India memang rada jelek. Film India itu, kalau nggak norak, alay, cinta-cintaan yang paling cuma nyanyi dan nari doang. Pikiran seperti ini sebenarnya nggak sepenuhnya benar juga. Kan masih ada lesung pipitnya Preity Zinta. Bayangin dia udah hampir 40 tahun tapi belum nikah-nikah juga. Kejombloan gue mah belum seberapa (ini kok malah jadi ngegosip sih?)

Salah satu film yang gue baru saja tonton berjudul "Lunchbox" atau yang dalam bahasa aslinya berjudul "Dabba." Awalnya gue nggak tahu, Lunchbox ini film tentang apaan. Apakah tentang anak-anak yang dikasih kotak makan sama ibunya terus dia jadi jatuh cinta sama ibunya sendiri (imajinasi yang mengerikan), atau seorang anak yang drop out dari kuliahnya di harvard kemudian berniat membuat sebuah jejaring sosial yang menjual kotak makan plastik dengan harga mahal yang digilai oleh ibu-ibu? (antara sejarah facebook dan tuperware yang tercampur).

Kalau di Indonesiakan, judulnya jadi: "Rantang"

Sebenarnya, film ini tergolong romance. Bercerita tentang dua orang anak manusia tak saling kenal yang terhubung karena kotak makan yang tertukar (mungkin filmnya sendiri terinspirasi dari sinetron Putri yang ditukar, Indonesia harus bangga). Saajan Fernandes (Irfan Khan) seorang karyawan diambang masa pensiun dan diharuskan melatih penggantinya Shaikh (Nawazudin Siddiqui) yang punya karakter bertolak belakang dengan dirinya. Sementara Ila (Nimrat Kaur) seorang istri muda yang merasa kehidupan rumah tangganya tidak berjalan baik. Kotak makan yang diniatkan Ila untuk suaminya, malah nyampe ke Saajan. Dari sanalah surat-menyurat mereka membuat mereka jadi saling jatuh cinta.

Film ini memang berkisah tentang cinta orang dewasa dan masalah orang dewasa. Begitu heartwarming sekaligus bersimpati karena bisa jadi problem di dalam film tersebut memang juga jadi problem kita-kita ini para orang dewasa. Kejenuhan dalam rumah tangga, kesepian, post power syndrom dan segala macam problem kekinian masyarakat urban India dibalut dalam sebuah jalinan asmara yang sederhana. Romantis di satu sisi, manis di sisi lainnya, namun juga penuh dengan kegetiran. Disinilah jajaran kru mulai dari kursi sutradara dan penulis naskah yang dipegang langsung oleh Ritesh Batra hingga cast macam Irfan Khan dan Nimrat Kaur tampil dengan cukup meyakinkan. Membuat gue jadi begitu jatuh cinta sama kisah cintanya.

Jadi pokoknya gue menganggap film ini sungguh luar biasa. Buat yang doyan drama film Lunchbox ini nggak boleh dilewatkan. Meski ending dibuat menggantung dan memaksa kita buat menyimpulkan sendiri (waktu itu gue lagi malas mikir jadi kesal dengan ending model film ini), film ini akan membawa sensai menyenangkan buat mereka yang pengen dapet kisah cinta india yang nggak norak dan tanpa adegan sensual.

Nah tak lama setelahnya, gue juga nonton film lainnya yang menurut gue cukup berhasil melampaui ekspektasi gue. Kali ini filmnya produksi dalam negeri. Weith, sejak kapan film Indonesia ada yang bagus? Nah ini nih, terlalu meremehkan film Indonesia nih, tonton makanya Pasir Berbisik (ya ampun itu film dari jaman kapan?). Nggak deng, film-film Indonesia yang kekinian juga banyak yang bagus kok. Coba deh nonton Mencari Hilal karya Ismail Basbeth (isi filmnya rekaman sidang isbath pas mau lebaran).

Nah film Indonesia yang kemaren gue tonton adalah "3: Alif Lam Mim." Awalnya gue mikir, ini film apaan nih? Operator seluler? Promo internet murah? Atau lowongan kerja? Dari judul aja udah nggak menarik. Ditambah pula sub judul Alif Lam Mim. Ramadhan udah lewat, Lebaran juga, lha kenapa ini ada cerita biografi pembuat buku Iqro. 

Harusnya judulnya Pria berkalung Sorban...

Seperti biasa gue liat dulu lah trailernya. Dan seperti biasanya gue lalu mengambil kesimpulan cerita dari trailernya tersebut. Cuma film yang sok asyik berantem-berantem sendiri, yah ngikut-ngikut suksesnya The Raid lah. Model-model pengikut gini mah biasanya jelek, pikir gue waktu itu. Terus apa lagi? Ceritanya tahun 2030-an. Hmmm menarik juga, kapan sih gue pernah nonton film Indonesia yang cerita tentang masa depan? Seingat gue nggak ada. Terakhir, sutradaranya adalah Anggy Umbara. Dan menurut gue Anggy Umbara punya signature dan track record yang bagus soal film. Jadi yaah, bolehlah akhirnya gue pergi nonton, namun tanpa berharap macam-macam, karena bagi gue, harapan palsu lebih kejam daripada alamat palsu (ditampol Ayu Ting-ting).

Baca juga : All hail Anggy

But what? Ternyata gue dibuat terkejut oleh film ini. Tentu nggak bisa dibandingkan dengan produksi Hollywood yang visual efeknya sungguh gila dan modal yang seolah tak terbatas, namun film ini membuktikan bahwa film Indonesia bisa juga bikin kita nggak ngerasa rugi buat bayar tiket 30-50 ribuan buat nonton di bioskop (bayar 50 ribuan aja udah sombong).

Ceritanya tentang Indonesia 2036, 3 orang sahabat berada di tiga pihak berbeda. Alif (Cornelio Sunny) seorang polisi yang dihadapkan pada aksi terorisme berlatar belakang agama dalam hal ini Islam. Lam (Abimana Aryasatya) seorang wartawan yang berusaha mengungkap kebenaran dari serangkaian aksi teror. Dan Mim (Agus Kuncoro) adalah pentolan di sebuah pondok pesantren yang dituduh sebagai sarang teroris. Perseteruan mereka menciptakan kisah yang membuat ketiganya terjebak dalam konspirasi yang lebih dalam.

Film ini menurut gue terbilang lengkap. Sebagai film action, film ini menghadirkan banyak adegan baku pukul dengan berbagai adegan penuh darah. Dari sisi cerita, film ini tampil cukup menarik dengan pembangunan karakter yang memadai, setidaknya cukup meyakinkan hingga kita tidak perlu melongo oleh adegan-adegan yang terlalu mengangkangi logika. Dari sisi cast-pun tampil sangat pas bahkan pada para pemeran pembantu sekalipun. Gue nggak bilang film sangat bagus, namun sungguh gue jamin film ini nggak mengecewakan.

Setidaknya dua film itu mengajarkan satu hal ke gue. Bahwa pilihan-pilihan tanpa sengaja kita bisa jadi membawa kita pada sesuatu yang baik dan menyenangkan. Seperti menonton kedua film ini, yang ternyata mengantarkan gue pada sebuah pengalaman menonton yang menyenangkan. Bahkan gue jadi lupa setelahnya bahwa gue baru abis patah hati. Bener kata ibunya Forest Gump, hidup ini seperti sekotak coklat. Kita nggak pernah tau apa yang akan kita dapatkan. So, jangan takut buat nonton film ya, kalau jelekpun yah, anggap saja dapat coklat yang nggak enak.

Well said, dude..
BTW, gue masih punya hutang nyeritain pengalaman perjalaan gue ke Thailand kemaren. Gue udah mulai lupa nih, tapi baka gue usahain buat diceritakan di sini deh ntar...


1

CATATAN PERJALANAN : SEMALAM DI MALAYSIA part 2

Posted by Santosa-is-me on 1:04 PM in

Inilah kisahku semalam di Malaysia
Diri rasa sunyi aduhai nasib apalah daya
Aku hanya seorang pengembara, yang hina...

Kekasih hatiku pun telah pula hilang...
Hilang tak berpesan aduhai sayang apalah daya
Cinta hampa hidupku pun merana, mana dia...

(D'Lloyd - Semalam di Malaysia)


Buat yang belom baca, kisah bagian sebelumnya bisa di baca di sini.




Jadi menjelang pukul 9 waktu setempat (fyi, waktu Malaysia itu lebih cepat satu jam dari waktu Indonesia) bus yang gue naiki tiba di Kuching Sentral, sebuah terminal bus yang wujud dan bentuknya lebih keren dari Mall yang ada di Pontianak. 



Hal pertama yang gue pikirkan begitu turun dari bus adalah gimana caranya gue memberikan kabar ke teman gue yang janjian ketemu pagi itu di Kuala Lumpur. Dua ponsel gue udah mati total. Satu-satunya harapan gue adalah laptop yang tersimpan manis di dalam ransel gue.



Tapi karena efek perjalanan jauh, gue memilih untuk rehat sebentar dulu. Tadinya gue hendak minum kopi di Kafe depan, namun gue urungkan karena gue ingin menikmati ruang tunggunya yang sejuk dan bersih. Gue juga harus mencari informasi gimana caranya gue bisa nyampe ke Airport Kuching dari Kuching Sentral, maklum perjalanan ke Kuching ini memang diluar rencana sehingga gue emang nggak ada cari info seputar perjalanan di Kuching. 



Tapi sialnya, meski Kuching Sentral sekeren itu, namun ternyata disana sama sekali nggak ada sinyal Wifi. Gue udah tanya ke mbak-mbak yang jaganya, dan mereka mengkonfirmasi bahwa nggak ada sinyal wifi disana. Gue bertanya gimana dengan di mallnya (waktu itu mallnya belum buka). Dan si mbak-mbak yang ramah namun jawabannya bikin kesal itu bilang sama aja, nggak ada juga.



Terjebak dengan kebingungan dan nihil informasi, gue nggak tahu harus ngapain. Untungnya jadwal penerbangan gue adalah pukul 1, sehingga gue masih punya banyak waktu. Gue mencoba tenang. Dan emang nggak ada jalan keluar lain. Satu-satunya adalah naik taksi untuk ke bandara.



Dari awal turun dari bus, para penumpang emang udah bakalan diserbu oleh para supir taksi. Gue awalnya nggak mau pake taksi ke bandara, soalnya harganya mencapai 20 ringgit. Harga yang termasuk mahal. Sialnya nggak ada alternatif angkutan lain di Kuching Sentral.



Tapi gue tetap nggak mau rugi. Karena itu gue tetap nggak mau naik taksi yang mangkal di Kuching Sentral. Gue pergi kepinggir jalan, menyetop taksi dan tawar-menawar sekejam mungkin. Hingga akhirnya gue mendapat taksi yang mau mengantar gue ke bandara dengan ongkos hanya 14 ringgit.

Halaman depan Kuching International Airport...


Tadinya sih gue udah bangga aja dengan kemampuan tawar-menawar gue. Setidaknya gue udah menghemat 6 ringgit. Jumlah yang cukup buat sekali makan di gerai fast food. Tapi emang orang Kuching ini lagi kepengen bikin gue kesel kali ya, ternyata perjalanan dari Kuching Sentral menuju Kuching International Airport itu deket banget. Nggak nyampe 5 menit, itupun udah termasuk kena trafick light dan ramainya jalan. Tau gitu gue jalan kaki aja. Hemat 14 ringgit yang sama artinya dengan 2 kali makan di gerai fast food.



Gue ahkhirnya sampai ke Bandara sekitar menjelang setengah 10 pagi. Setelah Checkin tiket pesawat, gue langsung mengabari temen gue di KL soal perubahan rencana pertemuan di sana. Untungnya bandara ada fasilitas wifi gratis, jadi gue bisa terkoneksi dengan internet. 



Karena jadwal penerbangan gue masih lama, sambil menunggu, gue ngider-ngider dulu di dalam airport. Kesimpulan gue, nih airport emang nggak sebesar Soekarno Hatta, namun entah kenapa menurut gue jauh lebih bersih dan terkesan lebih rapi serta modern.   


Gue berusaha mencari tempat untuk nge-charge alat komunikasi. Ada beberapa pilihan gerai waralaba di bandara tersebut. Namun yang menyediakan colokan paling banyak adalah Starbuck. Jadi terpaksa gue memesan double shoot espresso di sana hanya demi untuk ngecharge.



Menjelang pukul 1 waktu Malaysia, pesawat gue menuju Kuala Lumpur berangkat. Tiba di KLIA2 (jadi di KL ada 2 bandara, KLIA1 dan KLIA2) sekitar pukul 3 sore. Gila, ternyata KLIA2 itu guede banget, udah kayak Mall. Gue heran, kenapa di Malaysia Bandara dan Terminal mereka selalu terintergrasi dengan Mall. Buat maksa orang belanja?



Bandara yang kayak Mall (emang mall sih sebenarnya....)

Meeting point gue dan temen gue adalah di KL Sentral. Temen gue nyuruh gue naik KLIA Ekspress yang berharga 35 ringgit. Ini adalah kereta api spesial dari dan menuju bandara. Tapi setelah gue hitung-hitung lagi akhirnya gue memilih naik bus yang cuma 10 ringgit untuk menuju KL Sentral, meski memakan waktu perjalanan setengah jam lebih lama daripada dengan KLIA Ekspress.



Sampe di KL Sentral udah pukul setengah 5 sore. Dan kesan pertama gue liat KL Sentral adalah sumpah rame banget. KL Sentral adalah tempat bertemunya hampir semua moda transportasi di Malaysia. Makanya di sini banyak orang berpindah dari satu angkutan ke angkutan lain. Maka tidak heran tempat itu selalu ramai. Apalagi hari itu masih hari kerja. Dan lagi-lagi, KL Sentral ini juga terintegrasi dengan mall.



Tapi teman yang janjian dengan gue nggak kunjung muncul. Kedua ponsel gue juga udah mati. Ternyata hasil isi ulang di Starbuck nggak cukup. Satu-satunya alat komunikasi yang tersisa adalah laptop di tas gue. Tapi masa iya gue buka laptop di tengah lalu lalang manusia ini. 



Akhirnya gue putuskan buat mampir di MC'D (nama lain gerai waralaba MC Donald, kali aja ada yang nggak tau). Sekalian juga gue belum makan siang. Laper banget. And thanks God, di sana ada wifi. Dan begitu gue cek FB, benar aja, temen gue merubah tempat pertemuan menjadi Bangsar Village. Tempat seperti apakah itu? I have no idea.



Dan mengandalkan info dari teman gue yang bilang naik taksi dari KL Sentral ke sana cuma 5 ringgit, gue coba naik taksi. Tapi apa yang gue dapat, gue ditagih bayaran 15 ringgit. Ternyata yang gue naiki adalah taksi bandara, sementara yang temen gue maksud adalah taksi biasa. Pantes aja gue pake disuruh beli tiket segala. Dalam sehari gue dapat sial dua kali berurusan dengan taksi. 


Dan tibalah gue di Bangsar Village. Just for information, bangsar Village itu semacam plaza gitu. Dan gue nggak tau dimana gue bisa nemuin temen gue itu di sebuah pusat perbelanjaan. Maka terpaksalah gue membuka kembali laptop gue di tengah keramaian orang-orang daripada gue jadi anak hilang dan nangis-nangis ke bagian informasi. And taraaa... ternyata meeting point tempat gue berada adalah sebuah kafe di depan Bangsar Village. Dan akhirnya gue ketemu juga dengan teman gue tersebut. Usai sudah pertualangan gue luntang-lantung sendirian di negeri orang tersebut.




Ketika gue temukan, teman gue baru aja abis makan dengan salah seorang temannya yang asal Malaysia. Temannya teman gue yang asal Malaysia itu adalah salah satu orang penting (gue lupa dia di bagian apa, jadi ditulis orang penting aja) di sebuah perusahaan roti terkenal di Malaysia.



KL malam hari, jalan di depan Bangsar Village...

Setelah teman gue dan temannya temen gue selesai makan, gue dan temen gue diantar dengan mobil oleh temannya teman gue ke Terminal Duta. Awalnya gue dan teman gue mau ke Pudu Sentral, sebuah terminal bus di Kuala Lumpur untuk melanjutkan perjalanan gue ke Thailand. Namun menurut temennya temen gue, posisi gue dan temen gue saat itu (Bangsar Village) dengan terminal Duta jauh lebih dekat. So dengan mobil temannya teman gue, gue dan temen gue diantar ke terminal Duta (sorry kebanyakan kata teman di paragraf ini, emang sengaja!)



Kami udah beli tiket sebelumnya untuk menuju Thailand seharga masing-masing RM60. Cukup mahal memang, tapi sesuai dengan fasilitas bus yang kami dapatkan. Sebuah bus yang nyaman, lapang bakan dilengkapi dengan sinyal wifi sepanjang perjalanan. 



Di terminal Duta kami tiba hampir satu setengah jam sebelum keberangkatan bus. Waktu yang lumayan cukup panjang memang, sehingga gue masih sempat buat makan nasi goreng ayam buatan orang Malaysia dan air sirup buatan orang Malaysia yang dua-duanya sebenarnya sama aja dengan buatan orang Indonesia. Harganya lumayan murah, nggak nyampe RM5, tapi cukup mengenyangkan sambil menunggu bus gue yang baru akan berangkat pukul 10.30 waktu Malaysia.



Tunggu lanjutan cerita gimana serunya gue yang nyebrang ke Thailand di
Sini

7

CATATAN PERJALANAN : SEMALAM DI MALAYSIA part 1

Posted by Santosa-is-me on 11:15 PM in

Inilah kisahku semalam di Malaysia
Diri rasa sunyi aduhai nasib apalah daya
Aku hanya seorang pengembara, yang hina...

Kekasih hatiku pun telah pula hilang...
Hilang tak berpesan aduhai sayang apalah daya
Cinta hampa hidupku pun merana, mana dia...

(D'Lloyd - Semalam di Malaysia)


Lagu di atas adalah bikinan band lawas Indonesia bernama D'Lloyd yang berjudul Semalam di Malaysia. Sengaja gue ambil sebagai pembuka karena menurut gue cocok banget dengan yang mau gue ceritakan di postingan kali ini. Lagu aslinya galau banget. Coba aja dengar.


Ini nyambung dengan postingan gue yang sebelumnya. Buat yang belom baca, boleh klik di mari, biar ceritanya runut dan nyambung.

Jadi, malam itu gue berangkat dengan bus Damri menuju ke perbatasan Indonesia - Malaysia. Awalnya gue pikir, gue mesti berangkat dari tempat gue beli tiket, namun ternyata gue harus berangkat dari terminal antar negara di Sungai Ambawang, Kalimantan Barat. Dan salah satu dosa gue sebagai penghuni Kalbar dan Kubu Raya adalah nggak tau dimana terminal keberangkatan antar negara ini berada. Sering dengar, tapi nggak pernah ke sana.

Maka berterima kasihlah pada penemu GPS, karena berkat tekhnologi satu ini gue berhasil menemukan tempat tersebut yang ternyata nggak jauh. Dan untungnya ternyata gue bukan satu-satunya orang yang nggak tahu tempat tersebut. Di tengah jalan, ketika sedang nunggu di trafick light, ada ibu-ibu yang nanya dimana letak terminal antar bangsa. Gue dengan gaya sok tau nyuruh ibu-ibu itu ngikutin gue, padahal sebenarnya gue juga nggak tau dan cuma ngandelin GPS.

Gue tiba di terminal antar bangsa. Ternyata eh ternyata, terminal antar bangsa ini terlihat cukup gede dan modern. Bahkan boleh dibilang tempatnya jauh lebih keren dari Bandara Supadio yang sekarang. Cuma herannya kok sepi ya? Yang gue liat bahkan pedagang-pedagang juga nggak ada. Cuma satu kios yang buka (dan yang nggak disangka itu, ternyata yang punya kios adalah tetangga gue). Apa gue kemalaman? Atau karena itu hari minggu?

Tepat jam 9 malam, gue berangkat meninggalkan terminal antar bangsa dengan menggunakan bus dari perusahaan bus plat merah. Sebenarnya sih banyak pilihan bus yang bisa dipilih, cuma karena gue nggak pengalaman naek bus, gue taunya cuma Damri doang. And just for information, bus-bus yang ada di terminal tersebut nggak cuma yang mau ke Kuching, ada juga yang mau ke Brunai Darussalam atau kota-kota lain di Serawak.

Perjalanan Pontianak - Kuching itu ditempuh dalam perjalanan yang lumayan panjang. Karena menghabiskan waktu semalaman di dalam bus, kursi penumpang dibuat senyaman mungkin serta dilengkapi AC. Untuk bus yang gue naiki, gue bahkan diberi fasilitas selimut, serta air minum dan snack berupa roti. Harga yang sesuai untuk ongkos mencapai lebih dari Rp. 300.000.

Perjalanan Pontianak menuju Entikong ternyata memang seperti yang banyak diceritakan orang-orang. Meski sepanjang malam itu gue tertidur karena ngantuk banget (maklum, malam sebelumnya gue susah tidur), namun berkali-kali gue terbangun karena bus berguncang keras ketika harus melewati jalan yang rusak. Untungnya gue nggak sendirian malam itu. Yang duduk tepat di sebelah gue ternyata adalah adik kelas gue waktu SMA dulu. Dia PNS di entikong dan tiap saban pekan dia bolak-balik Entikong-Pontianak. Tahan juga dia, salut gue.


Bus Damri, harusnya ditambah fasilitas nasi padang gratis...
Tengah malam bus singgah di sebuah rumah makan padang. Meski tengah malam, rumah makan Padang ini rame banget. Beberapa bus terparkir. Orang-orang pada makan. Histeria ini, bikin gue yang nggak ada rencana makan (secara gue udah makan sebelum berangkat), ikutan makan. Betapa gue nggak sanggup menpertahankan rencana awal gue dan hal-hal kayak beginilah yang sering bikin perjalanan over budget.

Malam itu ada satu hal yang gue lupa lakukan. Karena rencana sebenarnya gue berangkat pake pesawat di minggu siang, maka harusnya gue memberikan kabar ke teman gue yang janjian ketemuan dengan gue di Kuala Lumpur senin pagi. Namun sialnya ketika gue ingat untuk melakukan itu, kedua ponsel yang gue bawa sudah kehabisan baterai. Chaos yang terjadi sehari sebelumnya membuat gue lalai untuk mengisi ulang baterai kedua ponsel gue.

Menjelang pukul 5 bus tiba di PPLB (kepanjangannya PPLB tuh Pos Pemeriksaan Lintas Batas) Entikong. Di depan gerbang udah banyak yang berkerumun sementara PPLB baru buka pukul 5. Waktu menunggu gerbang dibuka, gue manfaatkan untuk sholat Subuh di masjid yang ada di komplek PPLB. Di gerbang PPLB ini juga banyak pengasong yang jual jasa penukaran uang ringgit dan kartu telepon Malaysia. Gue nggak niat beli, jadi gue nggak sempat nanya berapa harganya.


Numpang nunggu gerbang di buka....
Tepat jam 5 pintu lintas batas dibuka. Gue, berserta orang-orang yang udah lumutan nunggu di gerbang akhirnya masuk dan antri biar paspor gue dapat cap sebagai izin lintas batas. Kemudian perjalanan berlanjut ke PPLB Tebedu untuk juga mendapat cap dan izin masuk negara Malaysia. Di sini resmi sudah gue meninggalkan Indonesia dan masuk ke negeri orang Malaysia. Dan melihat negeri orang ini membuat gue iri setengah mati.

Gimana nggak, jika perjalanan Pontianak - Entikong penuh dengan perjuangan melewati jalan yang rusak, maka selepas PPLB Tebedu, jalan mendadak mulus tanpa hambatan. Bahkan sampai memasuki Kuching, tidak ada jalan yang rusak seperti halnya yang terjadi di Indonesia. How pathetic is it?

Menjelang pukul setengah 9 gue memasuki kota Kuching. Dan sekali lagi gue iri. Yang gue lihat adalah sebuah kota yang teratur dan rapi jika di bandingkan dengan Pontianak. Nggak ada bangunan-bangunan yang berbatasan langsung dengan jalan raya kayak di Pontianak. Pemukiman juga tampak tersusun dengan baik dan nggak berantakan. Dan yang luar biasanya lagi, terminal busnya kueeerrren abis. Kalo tadi gue sempet muji terminal antar Bangsa di Sungai Ambawang itu keren, sekarang jadi nggak ada apa-apanya dibandingkan terminal bus yang bernama Kuching Central tersebut. Terminal tersebut udah kayak Mall. Lebih tepatnya emang Mall atau terintegrasi dengan Mall. Ruang tunggunya keren banget, udah kayak ruang tunggu airport aja.


Kuching Sentral, di foto dari dalam Taksi. Percayalah, itu beneran Terminal bus...
Okee, cukup untuk hari ini. Gue capek. Tapi perjalanan gue di Malaysia masih berlanjut. Baca aja nanti di Sini nanti ya, kalau udah gue tulis....

Sampai jumpa lagi di part 2, semoga nggak bosan...

1

CATATAN PERJALANAN : KETIKA REALITA TAK SEINDAH RENCANA

Posted by Santosa-is-me on 12:27 AM in
Fyuuuuh.... (menghembuskan nafas berat ceritanya)....

Akhirnya sempat juga gue nge-update nih blog. Sebenarnya udah dari kemaren gue pengen ngeupdate postingan baru di sini, cuma nggak sempat-sempat. Sekarang gue udah sempat, dan gue bawa oleh-oleh cerita yang bakal jadi hiasan nih blog untuk beberapa postingan ke depan.

Judul post gue kali ini emang agak dramatis, tapi sumpah ini bukan gue lagi nyoba nyontek sinetron, atau kepengen nyaingin bapak-bapak India yang nguasain jagad sinetron dan perfilman Indonesia. Ini adalah cerita perjalanan gue kemaren.

Awal cerita ini adalah ketika pertengahan April kemaren gue berencana untuk pergi liburan ke luar negeri. Tujuannya adalah Thailand, karena pertengahan april itu sedang ada Songkran. Songkran adalah tahun baru orang-orang Thailand dan tradisi mereka ketika tahun baru adalah main-main air dan semprot-semprotan (aneh ya????).


Sonkran, tujuan utama gue ke Thailand kemaren.... (sumber)
Gue berencana pergi dengan seorang teman gue yang emang traveler. Dan menurut dia yang emang udah beberapa kali ke Bangkok dan Pattaya, untuk Songkran kali ini lebih baik gue menghindari dua kota itu dan mengusulkan sebuah kota bernama Hat Yai. Menurut dia di Hat Yai, Songkrannya lebih kental dengan aroma tradisi karena di sana nggak banyak bule kayak di Bangkok atau Phuket. Gue yang nge-blank soal Thailand, meng-oke kan saja.

Plan perjalanan awalnya adalah gue berangkat dari Pontianak menuju Kuala Lumpur pake pesawat. Gue emang nggak berangkat bareng teman gue yang ngajak ke Hat Yai tadi, karena dia udah berangkat duluan ke Penang, dan baru bisa datang ke KL sehari setelah jadwal keberangkatan gue. So, rencananya gue bakal bermalam di Kuala Lumpur sendirian. 

Prospek bermalam di Kuala Lumpur ini bikin gue excited banget. Ada banyak pengalaman baru yang bakal gue dapat. Salah satunya adalah nginep di dorm atau hostel. Wuih, ini pengalaman pertama gue, soalnya sebelum-sebelumnya gue selalu nginep di hotel. Ngebayangin sekamar sama orang asing yang nggak di kenal. Gimana kalau seandainya gue sekamar sama Leonardo Dicaprio? (kenapa kalimat terakhir ini terasa aneh?)


Siapa tau Leo ngajakin gue main film "The Beach 2"
Gue juga udah merencanakan perjalanan gue di Kuala Lumpur secara seksama. Tempat-tempat kayak Twin Tower Petronas, Petaling Street, Mesjid Jamek, Masjid Negara, Islamic Art Museum, Makan-makan di Jalan Alor hingga ngunjungi mantan rumahnya P. Ramlee udah masuk ke dalam list gue ketika berada Kuala Lumpur.

Tapi malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Tepat malam minggu, atau malam sebelum keberangkatan gue, ketika dimana gue seharusnya sedang disibukkan buat packing, gue malah mendapat suatu berita yang kemudian menjadi masalah yang mengganggu pikiran gue sepanjang malam itu. Bahkan gue sampe sulit tidur sepanjang malam. Dan entah gimana itu jadi kayak firasat buruk buat gue. Gue jadi gelisah.

Sialnya gue orang yang cenderung intuitif. Bukannya siap berangkat, hingga pagi gue masih berusaha menyelesaikan masalah tersebut biar siangnya gue bisa berangkat. Tapi sialnya sampe jam 12 siang itu, masalah gue tersebut belum juga beres. Dan gue nggak akan bisa berangkat dengan perasaan yang nggak tenang dan gelisah. Liburan macam apa itu jadinya? 

Maka hanguslah tiket Pontianak - KL gue siang itu. Kalo gue pikir-pikir lagi sekarang, gue kadang ngerasa waktu itu gue konyol banget deh. Tapi ya udahlah mau gimana lagi. Pokoknya gue siang itu udah terancam nggak jadi liburan ke Thailand.

Tapi ternyata langit berbaik hati sama gue. Sekitar pukul dua siang, ketika gue udah nyaris yakin buat batal pergi, tiba-tiba ada keajaiban. Masalah gue tersebut mendapat sedikit titik terang. Belum selesai, tapi paling nggak gue bisa sedikit tenang lah meninggalkan Pontianak dan seisinya.

Maka harapan untuk liburan yang sudah hilang itu mendadak muncul lagi. Dengan cepat gue berhitung. Kalau gue batal, rasanya sayang banget. Tiket pulang udah dibeli, hotel juga udah di sewa, jadi kalo gue nggak pergi gue bakal tetap kena tagihan sewa hotel. Belum lagi gue bakal bikin teman gue yang ngajakin ke Thailand kecewa. Lagian gue emang kepengen banget ke Thailand dan liat Songkran. 

Tapi pesawat udah berangkat. Dan itu adalah satu-satunya pesawat rute Pontianak-KL yang ada. Pesawat dengan rute yang sama baru akan ada lagi lima hari kemudian. Ya benar, lima hari kemudian! Ada dari maskapai penerbangan lain, tapi harga tiketnya minta ampun mahalnya.
Pusing mikirin bujet perjalanan yang membengkak...
Setelah berhitung dengan cermat, gue akhirnya menemukan solusi yang kemudian akhirnya gue pilih. Yaitu gue mengubah rute perjalanan menjadi jalur darat dari Pontianak-Sarawak kemudian dari Sarawak naik pesawat ke Kuala Lumpur. Meski kemudian gue rada nyesel juga sebenarnya. Karena kalo ditotal-total, perjalanan dari kota gue ke Kuala Lumpur dengan maskapai lain harganya kurang lebih harga tiket bus ditambah tiket pesawat. Yah, tapi ya udahlah ya. Udah lewat juga, buat apa juga gue sesalin.

Maka sore itu gue dengan agak tergesa-gesa booking tiket pesawat Serawak - Kuala Lumpur (yang muahal minta ampyun), juga tiket bus Damri (gue taunya kemaren itu cuma Damri) Pontianak - Serawak, lalu packing. Dan malamnya, perjalan liburan gue dimulai.

Gue sendiri nggak nyesal dengan pengalaman nyaris batal berangkat kemaren itu. Tapi ada pelajaran yang bisa gue bagi buat teman-teman dari pengalaman ini.
1. Banyak-banyak berdoa. Manusia bisa berencana, Tuhan yang menentukan.
2. Jangan ketinggalan pesawat.
3. Jangan nyalakan ponsel sehari menjelang keberangkatan.
4. Usahakan punya kembaran, jadi kalo batal pergi bisa minta gantiin. Kan sayang tiketnya.
5. Perempuan itu susah dimengerti.

Oke, saran gue di atas emang ngaco dan nggak nyambung. Tapi yang pasti ketika realita ternyata nggak seindah rencana, ya hidup harus tetap berjalan. Apapun pilihan yang diambil bersiaplah untuk mempertanggung jawabkannya (kalo gue mulai bijak gini, tandanya gue udah mulai lelah dan harus segera mengistirahatkan otak :).

Cerita ini bakal bersambung. Lanjutannya bisa di baca di Sini (kalo di klik nggak kebuka berarti sambungannya belum ditulis)

Copyright © 2009 BIG RHINO WHO WANTS TO FLY All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.